indonesaEnglish


Sabtu, 01 November 2014

Budaya Aceh

Sabtu, 01 November 2014


I. Bahasa


Bahasa Aceh.

Diantara bahasa-bahasa daerah yang terdapat di provinsi NAD, bahasa Aceh merupakan bahasa daerah terbesar dan yang paling banyak penuturnya, yakni sekitar 70 % dari total penduduk provinsi NAD (Daud, 1997:10, Daud and Durie, 1999:1). Penutur bahasa Aceh tersebar di wilayah pantai Timur dan Barat provinsi NAD. Penutur asli bahasa Aceh adalah mereka yang mendiami Kabupaten Aceh Besar, Kota Madya Banda Aceh, Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Jeumpa, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh Barat dan Kota Madya Sabang. Penutur bahasa Aceh juga terdapat di beberapa wilayah dalam Kabupaten Aceh Selatan, terutama di wilayah Kuala Batee, Blang Pidie, Manggeng, Sawang, Tangan-tangan, Meukek, Trumon dan Bakongan. Bahkan di Kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara dan Simeulue, kita dapati juga sebahagian kecil masyarakatnya yang berbahasa Aceh. Selain itu, di luar provinsi NAD, yaitu di daerah-daerah perantauan, masih ada juga kelompok-kelompok masyarakat Aceh yang tetap mempertahankan bahasa Aceh sebagai bahasa ibu mereka. Hal ini dapat kita jumpai pada komunitas masyarakat Aceh di Medan, Jakarta, Kedah dan Kuala Lumpur di Malaysia serta Sydney di Australia (Daud, 1997:30).



Bahasa Gayo.

Bahasa ini diyakini sebagai suatu bahasa yang erat kaitannya dengan bahasa Melayu kuno, meskipun kini cukup banyak kosakata bahasa Gayo yang telah bercampur dengan bahasa Aceh. Bahasa Gayo merupakan bahasa ibu bagi masyarakat Aceh yang mendiami Kabupaten Aceh Tengah, sebahagian kecil wilayah Aceh Tenggara, dan wilayah Lokop di kabupaten Aceh Timur. Bagi kebanyakan orang di luar masyarakat Gayo, bahasa ini mengingatkan mereka akan alunan-alunan merdu dari syair-syair kesenian didong.



Bahasa Alas.

Bahasa ini kedengarannya lebih mirip dengan bahasa yang digunakan oleh masyarakat etnis Karo di Sumatera Utara. Masyarakat yang mendiami Kabupaten Aceh Tenggara, di sepanjang wilayah kaki gunung Leuser, dan penduduk di sekitar hulu sungai Singkil di Kabupaten Singkil, merupakan masyarakat penutur asli dari bahasa Alas. Penduduk Kabupaten Aceh Tenggara yang menggunakan bahasa ini adalah mereka yang berdomisili di lima kecamatan, yaitu Kecamatan Lawe Sigala-gala, Lawe Alas, Bambel, Babussalam, dan Bandar (Abdullah, dkk, 1987:2).



Bahasa Tamiang.

Bahasa Tamiang (dalam bahasa Aceh disebut bahasa Teumieng) merupakan variant atau dialek bahasa Melayu yang digunakan oleh masyarakat Kabupaten Aceh Tamiang (dulu wilayah Kabupaten Aceh Timur), kecuali di Kecamatan Manyak Payed ( yang merupakan wilayah bahasa Aceh) dan Kota Kuala Simpang (wilayah bahasa campuran, yakni bahasa Indonesia, bahasa Aceh dan bahasa Tamiang). Hingga kini cita rasa Melayu masih terasa sangat kental dalam bahasa Tamiang.



Bahasa Aneuk Jamee.

Bahasa ini sering juga disebut (terutama oleh penutur bahasa Aceh) dengan bahasa Jamee atau bahasa Baiko. Di Kabupaten Aceh Selatan bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi penduduk yang mendiami wilayah-wilayah Susoh, Labuhan Haji, Samadua, Tapaktuan, dan Kluet Selatan. Di luar wilayah Aceh Selatan, menurut Wildan (2002:2), bahasa ini juga digunakan oleh kelompok-kelompok kecil masyarakat di Kabupaten Singkil dan Aceh Barat, khususnya di Kecamatan Kaway 16 (Desa Peunaga Rayek, Rantau Panyang, Meureubo, Pasi Meugat, dan Ranto Kleng), serta di Kecamatan Johan Pahlawan (khususnya di desa Padang Seurahet). Bahasa Aneuk Jamee adalah bahasa yang lahir dari assimilasi bahasa sekelompok masyarakat Minang yang datang ke wilayah pantai barat Aceh dengan bahasa daerah masyarakat tempatan, yakni bahasa Aceh. Nama Aneuk Jamee (yang secara harfiah bermakna ‘anak tamu’, thus ‘bangsa pendatang’) yang dinisbahkan pada bahasa ini adalah refleksi yang tersirat dari makna masyarakat pendatang itu sendiri. Bahasa ini dapat disebut sebagai variant dari bahasa Minang.



Bahasa Kluet.

Bahasa Kluet merupakan bahasa ibu bagi masyarakat yang mendiami daerah Kecamatan Kluet Utara dan Kluet Selatan di kabupaten Aceh Selatan. Informasi tentang bahasa Kluet, terutama kajian-kajian yang bersifat akademik, masih sangat terbatas. Masyarakat Aceh secara luas, terkecuali penutur bahasa Kluet sendiri, tidak banyak mengetahui tentang seluk-beluk bahasa ini. Barangkali masyarakat penutur bahasa Kluet dapat mengambil semangat dari PKA-4 ini untuk mulai menuliskan sesuatu dalam bahasa daerah Kluet, sehingga suatu saat nanti masyarakat dapat dengan mudah mendapatkan buku-buku dalam bahasa Kluet baik dalam bentuk buku pelajaran bahasa, cerita-cerita pendek, dan bahkan puisi.



Bahasa Singkil.

Seperti halnya bahasa Kluet, informasi tentang bahasa Singkil, terutama sekali dalam bentuk penerbitan, masih sangat terbatas. Bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi sebagian masyarakat di Kabupaten Singkil. Saya katakana sebagian, karena kita dapati ada sebagian lain masyarakat di Kabupaten Singkil yang menggunakan bahasa Aceh, bahasa Aneuk Jamee, ada yang menggunakan bahasa Minang, dan ada juga yang menggunakan bahasa Dairi (atau disebut juga bahasa Pakpak) khususnya di kalangan pedagang dan pelaku bisnis di wilayah Subulussalam. Selain itu masyarakat Singkil yang mendiami Kepulauan Banyak, mereka menggunakan bahasa Haloban. Jadi sekurang-kurangnya ada enam bahasa daerah yang digunakan sebagai bahasa komunisasi sehari-hari diantara sesama anggota masyarakat Singkil selain bahasa Indonesia. Dari sudut pandang ilmu linguistics, masyarakat Singkil adalah satu-satunya kelompok masyarkat di provinsi NAD yang paling pluralistik dalam hal penggunaan bahasa.



Bahasa Haloban.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahasa Haloban adalah salah satu bahasa daerah Aceh yang digunakan oleh masyarakat di Kabupaten Singkil, khususnya mereka yang mendiami Kepulauan Banyak, terutama sekali di Pulau Tuanku (Wildan, 2002:2). Bahasa ini kedengarannya sangat mirip dengan bahasa Devayan yang digunakan oleh masyarakat di pulau Simeulue. Jumlah penutur bahasa Haloban sangat sedikit dan jika uapaya-upaya untuk kemajuan, pengembangan serta pelestarian tidak segera dimulai, dikhawatirkan suatu saat nanti bahasa ini hanya tinggal dalam catatan-catatan kenangan para peneliti bahasa daerah.

Bahasa Simeulue.
Bahasa Simeulue adalah salah satu bahasa daerah Aceh yang merupakan bahasa ibu bagi masyarakat di pulau Simeulue dengan jumlah penuturnya sekitar 60.000 orang. Dalam penelitian Morfologi Nomina Bahasa Simeulue, Asyik & Daud, dkk (2000:1) menemukan bahwa kesamaan nama pulau dan bahasa ini telah menimbulkan salah pengertian bagi kebanyakan masyarakat Aceh di luar pulau Simeulue: mereka menganggap bahwa di pulau Simeulue hanya terdapat satu bahasa daerah, yakni bahasa Simeulue. Padahal di Kabupaten Simeulue kita jumpai tiga bahasa daerah, yaitu bahasa Simeulue, bahasa Sigulai (atau disebut juga bahasa Lamamek), dan bahasa Devayan. Ada perbedaan pendapat di kalangan para peneliti bahasa tentang jumlah bahasa di pulau Simeulue. Wildan (2000:2) misalnya, mengatakan bahwa di pulau Simeulue hanya ada satu bahasa, yaitu bahasa Simeulue. Akan tetapi bahasa ini memiliki dua dialek, yaitu dialek Devayan yang digunakan di wilayah Kecamatan Simeulue Timur, Simeulue Tengah dan di Kecamatan Tepah Selatan, serta dialek Sigulai yang digunakan oleh masyarakat di wilayah Kecataman Simeulue Barat dan Kecamatan Salang. Dari beberapa anggota masyarakat pulau simeulue yang kami hubungi, kami peroleh informasi bahwa ketiga bahasa yang ada di pulau tersebut merupakan bahasa yang berbeda dan terpisah.

II. Tarian


Tari Saman 


Tari Saman diciptakan dan dikembangkan oleh seorang tokoh islam bernama Syeh Saman ,beliau menciptakan syairnya dengan menggunakan bahasa arab dan bahasa aceh dengan iringan gerakan –gerakan tangan dan syair yang dilagukan membuat seuasana menjadi gembira, gerakan tepukan dada,tepukan diatas lutut, mengangkat tangan secara bergantian dengan gerakan dan kecepatan yang serasi menjadi ceri khasnya.

Tari Laweut


Laweut berasal dari kata Seulawet , sanjungan pada Nabi Muhammad S.A.W tari ini di persembahkan oleh delapan orang wanita yang disebut juga seudati iring. Tari ini di pergunakan untuk menyampaikan pesan-pesan dalam keagamaan pendidikan dan pembangunan.

Tari Tarek Pukat


Tari ini merupakan tarian yang diangkat dari kehidupan nelayan pesisir aceh yaitu membuat jarring “pukat” dan menangkap ikan dengan jaring ditengah laut. Suasana menarik pukat dengan harapan mendapat ikan yang banyak dinyatakan dengan semangat kerja keras da riang gembira yang sekali-kali terdengar teriakan senang pawang laut.

Tari Cangklak


Tari memgemalisasikan perempuan-perempuan cantik gemulai, energik dan sedikit genit dengan berbagai aksesoris yang dipakai dalam mengelilingi lekuk tubuh anggunnya, serta pelengkap busana yang senantiasa digunakan dan indetik dengan perempuan seperti payung, kipas, sapu tangan, perpaduan gerak dan tarian yang laku di aceh dengan tarian khas melayu dari daerah timur aceh.

Tari Meusago


Meusago disini diartikan bersudut, bersegi dan berujung begitu lengkapnya persoalan yang di hadapi dan ibadah manusia dengan manusia, dengan bermacam kehidupan yang dihadapi dan ibadah atau hubungan dengan Tuhan, ide garapan tari ini sebagai syimbol gotong royong dan persaudaraan merupakan wujud dari persatuan, satu kipas barang bermakna tapi menakala bersamaan d paparkan menjadi satu manfaat bagi kehidupan.

Tari Rapai Daboh


Rapai Daboh yaitu suatu permainan ketangkasan atau kekebalan. Permainan Rapai Daboh terdiri dari seorang syekh yang bergelar “Khalifah”, beberapa orang penabuh rebana (rapai), dan beberapa pemain rencong atau senjata tajam lainnya, dimana saat mereka sedang menabuh rebana memukul rapainya sambil bernyanyi dengan lagu-lagu tertentu terus menikam-nikam anggota badan dengan sehebat-hebatnya, kadang-kadang rencongnya menjadi bengkok, yang semuanya berada dibawah pimpinan/pengawasan khalifah. Apa sebab tubuh mereka tidak dimakan senjata, hal ini menurut mereka oleh karena suatu keyakinan bahwa yang berkuasa hanya Khalik (Tuhan) sedangkan makhluk sama-sama tidak berkuasa; jadi besi makhluk dan manusia pun makhluk. Pada waktu para penabuh rapai sedang memukul rebana sehebat-hebatnya, maka para pemain rencong memusatkan seluruh pikirannya pada keyakinan diatas, sedikit pun tidak boleh bergoyang, dan kalau goyang pastilah senjata akan makan tubuh mereka.

Tari Seudati


Seudati adalah perpaduan antara seni suara dan seni tari. Seni Seudati adalah jenis kesenian yang diciptakan setelah berdiri masyarakat islam Aceh yang berfungsi sebagai dakwah dan hiburan. Seudati juga bernama Saman yang berasal kata dari bahasa Arab yang berarti delapan. Dinamakan saman karena para pemainnya terdiri dari delapan orang yaitu Syekh dan para pembantunya berpakaian seragam, yaitu celana pantalon hitam atau putih, baju kaos putih berlengan panjang, di kepala para penari memakai tangkulok.

Lainnya :

Tari Rapai Geleng
Rapai adalah jenis tamborin yang biasanya dipakai untuk mengiringi sebuah lagu atau tarian. Permainan Rapai telah dikembangkan dan diiringi dengan lagu-lagu dan berbagai macam lenggak-lenggok yang indah. Ini merupakan dobrakan penampilan sebuah tarian baru yang disebut “Rapai Geleng”. Tarian ini dimainkan oleh 11 sampai 12 orang penari dan setiap mereka memainkan Rapai (tamborin kecil). Sambil bermain Rapai dan menyanyikan lagu, mereka melakukan berbagai gerakan tubuh yaitu tangan, kepala, dan lain-lain. Gerakan para penari hampir sama dengan tarian Saman tetapi menggunakan Rapai. Tarian ini juga sangat dinikmati dan menyenangkan.

Tari Meuseukat
Tarian Meuseukat adalah tarian yang sangat pupuler di Aceh yang berasal dari Kab. Aceh Selatan. Tarian ini dimainkan oleh 10 atau 12 penari dan 2 orang penyanyi. Khusus untuk wanita mengambil posisi dengan cara duduk/berlutut dalam satu barisan dan membuat gerakan tubuh dengan tangan dan kepala. Nyanyian yang berisi pujian atau doa yang dimulai dengan gerakan lambat sampai dengan gerakan cepat.

Tari Ranub Lampuan
Tari Ranub Lampuan sangat terkenal di Aceh. Tari ini biasanya dimainkan untuk menyambut tamu terhormat dan pejabat-pejabat yang berkunjung ke Aceh. Tari ini juga di tampilkan pada acara-acara khusus, seperti para acara Preh linto, Tueng Dara Baro. Tarian ini dimainkan oleh tujuh orang penari wanita dan diiringi dengan instrumen musik tradisional Seurunee Kalee. Penari ditangannya memegang Cerana atau Puan yang yang didalamnya berisi sirih (ranub) yang akan diberikan kepada tamu-tamu sebagai tanda kemuliaan bagi tamu-tamunya. Tari Ranub Lampuan gubahan dari Tarian Aceh.

Tari Likok Pulo
Tari Likok Pulo dewasa ini sudah menjadi salah satu tari wajib bagi murid sekolah dalam Kota Banda Aceh sebagai mata pelajaran kesenian muatan lokal. Karena pada akhir tahun l980an nasib tarian ini hampir punah dan kembali diperkenalkan pada PKA Pkan Kebudayaan AcehIII tahun l988 hingga sudah berkembang dan populer di kalangan masyarakat. Asal mula tarian ini berkembang di kawasan Pulo Besar Selatan dalam wilayah gugusan Pulo Aceh Kabupaten Aceh Besar, sekitar 30 mil dari dararatan Kota 
    
Banda Aceh. Maka tarian ini juga dengan sebutan Likok Pulo Aceh. Tarian ini sebagai media pengembangan dakwah Islam dimasa era kesultanan Aceh diciptakan oleh Ulama pendatang dari Arab yang menetap di desa Ulee Paya dibawakan oleh 12 orang penari pria sambil duduk rapat berlutut bahu membahu, dengan posisi sejajar. Di desa Ulee Paya dahulu dipertunjukan di tepi pantai atas pasir sebagai pentasnya dan hanya digelari sehelai tikar daun lontar atau pandan serta dibawakan pada malam hari sebagai hiburan rakyat sambil berdakwah. Biasanya tarian ini mulai dipertunjukan puluk 21.00 WIB sampai menjelang subuh. Gerak tari Likok Pulo komposisinya dimulai dengan gerakan salam anggukan kepala dan tangan yang diselangi gerakan pinggul. Ritme tarian saling membentang dan seling ke kiri dan ke kanan sambil melantunkan syair-syair pujian kepada Sang Khalik yang diiringi dengan musik Rapai dan vokalis nyanyian syair Aceh.

III. Kerajinan Tradisional

Kerajinan Anyaman Pandan Khas Aceh


Seuke (dalam bahasa Aceh) disebut juga dengan daun pandan adalah bahan baku yang sering digunakan dalam membuat kerajinan anyaman. Dahulu,anyaman pandan ini hanya digunakan untuk membuat tikar saja, namun kini berbagai macam barang dapat dihasilkan dari anyaman pandan ini antara lain, aneka tas, sandal, sarung bantal kursi dan lain sebagainya. Anyaman pandan ini banyak ditemui di Kabupaten PidieKabupaten Pidie Jaya dan kabupaten Aceh Utara. Sekarang ini banyak lembaga sosial maupun dinas pemerintah lokal yang peduli akan prospek usaha kerajinan anyaman pandan ini sehingga banyak melakukan pelatihan bagi pengrajin/ masyarakat lokal mengenai model maupun jenis yang bisa dibuat dari anyaman pandan.

Proses Pembuatan Anyaman Pandan, bahan baku anyaman pandan adalah daun pandan yang panjangnya mencapai 2 (dua) meter. Daun pandan disayat atau dibelah-belah menurut alur memanjang setelah dibersihkan terlebih dahulu. Daun pandan ini diebus dalam air panas agar menjadi lunak, serta untuk mematikan hama, kemudian diangkat dan dikeringkan dengan menjemurnya pada panas matahari. Setelah kering, diberi warna sesuai keinginan dengan mencelupkannya kedalam zat cairan zat pewarna yang telah dimasak dengan air panas,lalu diaduk hingga rata. Setelah warna merata, lalu diangkat dan dijemur lagi hingga kering. Setelah kering, maka pandan ini siap untuk dianyam. Bahan baku yang telah siap pakai ini dianyam sesuai denga kebutuhan, baik dengan motif yang diinginkan maupun dalam bentuk polos.

Batik Aceh



Selama ini batik yang kita kenal hanya lekat berasal dari daerah-daerah di Pulau Jawa. Tapi daerah Aceh juga memiliki kerajinan tradisional yang satu ini.

Batik Aceh mengeluarkan warna-warna yang cenderung berani, merah, hijau, kuning, merah muda. Salah satu kerajinan khas aceh ini biasanya  memiliki motif batik Aceh yang tertera pada kain melambangkan falsafah hidup masyarakatnya. Motif pintu misalnya, menunjukkan ukuran tingi pintu yang rendah. Motif tolak angin menjadi perlambang banyaknya ventilasi udara di setiap rumah adat, motif ini mengandung arti bahwa masyarakat Aceh cenderung mudah menerima perbedaan. Motif bunga jeumpa-bunga kantil, diambil karena banyak terdapat di aceh. Kuatnya pengaruh islam juga turut mewarnai motif-motif batik diantaranya ragam hias berbentuk sulur, melingkar, dan garis.

Batik Aceh memiliki motif yang menggunakan unsur alam dan budaya sebagai perpaduannya. Perpaduan warna yang cukup berani yakni merah, hijau, kuning serta merah muda menjadi ciri tersendiri pada batik Aceh. Tidak hanya itu, motif yang digunakan pada batik Aceh juga mengandung makna falsafah hidup masyarakat Aceh.Daerah yang dikenal dengan sebutan serambi Mekah ini memiliki motif serta corak yang berbeda dan khas. Motif lain yang menjadi ciri khas utama pada masyarakat Aceh adalah motif bunga Jeumpa yang memang menjadi simbol serta bunga khas yang berasal dari Aceh. Ada pula motif khas lain seperti Rencong, Awan berarak, dan motif gayo. Selain itu pengaruh agama Islam yang menjadi mayoritas di Aceh juga tercermin dari berbagai ragam hias seperti sulur, melingkar serta garis.

Batik Aceh memang memiliki keunikan tersendiri. Kesan indah dan glamor langsung terpancar dari batik khas Aceh ini. Motif yang khas menjadikan batik ini memiliki ciri serta daya tarik sendiri dibandingkan dengan batik pada umumnya.
Sebagai salah satu seni budaya Indonesia, batik Aceh terus dipopulerkan ke beragam wilayah nusantara bahkan dunia. Batik Aceh juga bukan sekedar batik dengan segala keindahan yang mengirinya. Di dalamnya terdapat makna falsafah kehidupan yang menjadi kearifan lokal dan pedoman hidup masyarakat Aceh.

Kain Songket Aceh 


Kata songket berasal dari istilah sungkit dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, yang berarti ''mengait'' atau ''mencungkil''. Hal ini berkaitan dengan metode pembuatannya: mengaitkan dan mengambil sejumput kain tenun, dan kemudian menyelipkan benang emas dan perak. Kain tenun yang dihiasi dengan benang emas dan perak ini dibandrol dengan harga sekitar Rp 200.000 per helai, harga ini juga tergantung tingkat kesulitannya. Motif Aceh memiliki kekhasan sendiri, antara lain motif Pintu Aceh. Kalau ada motif ini sudah dipastikan itu kerajinan dari Aceh. Bahkan gelang pun merupakan rangkaian dari bentuk Pintu Aceh. Tapi sekarang motif Pintu Aceh telah dimodifikasi sehingga lebih menarik. Kerajinan songket Aceh berasal dari Desa Siem di Kecamatan Darussalam, Kabupaten Aceh Besar. Dari Banda Aceh, Anda bisa naik labi-labi (kendaraan umum) atau mobil pribadi dengan jarak tempuh sekitar 14 Km. Tak sekadar kain untuk pakaian, songket Aceh digunakan untuk beragam keperluan seperti hiasan meja, hiasan dinding, dan sebagainya. Selain menyambangi langsung tempat pembuatannya, Anda juga bisa belanja songket Aceh di toko-toko suvenir.

Lainnya :

Kasab Aceh 



Kasab atau kerajinan benang emasdikenal secara luas sebagai sulaman khas tradisional dari Aceh yang dibuat diatas kain beludru. Ukiran Kasabterdiri dari banyak motif yang pada umumnya berbentuk flora yang disulam dengan rapi bahkan dihiasi dengan manik-manik berwarna emas. Bagi masyarakat tradisional aceh penggunaan kasab sama halnya dengan penggunaan rencong, jenis kasab bisa mewakili derajat atau menjadi parameter status sosial, misalnya bagi raja dan rakyat umum bentuk dan coraknya akan sedikit berbeda dari segi warna dan unsurnya. tapi sekarang perbedaan itu sudah tidak terlalu dipermasalahkan dan bahkan disetarakan. Warna yang terkandung pada kasab terdiri dari 4 warna khusus, seperti pada tiree atau tirai misalnya membentang beludu polos secara vertikal antara warna kuning, merah, hujau dan hitam. Ke empat warna tersebut mewakili status sosial masyarakat tradisional aceh mulai dari kuning melambangkan raja, merah sebagai hulubalang atau panglima, hijau sebagai ulama sementara hitam sebagai rakyat jelata. Berdasarkan fungsinya kasabterdiri dari beberapa bagian, yaitu pelaminan, pinto geurubang, bhi, Ayu-ayu, Seuradi, Dalansi, Tilam Duek, Mereuecu, tiang pelaminan, tirai, aneuk tirai, langet-langet, Mata langet, Mata Kasur, dan kipas. Setiap bagian kasab mengandung corak yang berbeda-beda. Proses pembuatan satu bagian kasab biasanya menghabiskan waktu berbulan-bulan karena perlu ketelitian dan konsentrasi serta kesabaran untuk menghasilkansulaman kasab yang sempurna.

Bros Rencong Aceh


Rencong (Reuncong) adalah senjata tradisional dari Aceh. Rencong selain simbol kebesaran para bangsawan, merupakan lambang keberanian para pejuang dan rakyat Aceh di masa perjuangan. Keberadaan rencong sebagai simbol keberanian dan kepahlawanan masyarakat Aceh terlihat bahwa hampir setiap pejuang Aceh, membekali dirinya dengan rencong sebagai alat pertahanan diri. Namun sekarang, setelah tak lagi lazim digunakan sebagai alat pertahanan diri, rencong berubah fungsi menjadi barang kerajinan tangan khas aceh( cinderamata) yang dapat ditemukan hampir di semua toko kerajinan khas Aceh.

Bentuk bros rencong berbentuk kalimat bismillah, gagangnya yang melekuk kemudian menebal pada sikunya merupakan aksara Arab Ba, bujuran gagangnya merupaka aksara Sin, bentuk lancip yang menurun kebawah pada pangkal besi dekat dengan gagangnya merupakan aksara Mim, lajur besi dari pangkal gagang hingga dekat ujungnya merupakan aksara Lam, ujung yang meruncing dengan dataran sebelah atas mendatar dan bagian bawah yang sedikit keatas merupakan aksara Ha.Rangkain dari aksara Ba, Sin, Lam, dan Ha itulah yang mewujudkan kalimat Bismillah. Jadi pandai besi yang pertama kali membuat rencong, selain pandai maqrifat besi juga memiliki ilmu kaligrafi yang tinggi. Oleh karena itu , rencong tidak digunakan untuk hal-hal kecil yang tidak penting, apalagi untuk berbuat keji, tetapi rencong hanya digunakan untuk mempertahankan diri dari serangan musuh dan berperang di jalan Allah. Bros Rencong biasanya dibuat dari besi-besi pilihan, yang di padu dengan logam emas, perak, tembaga, timah . Gagang rencong ada yang berbentuk lurus dan ada pula yang melengkung keatas. Akan tetapi ada juga yang dibuat dari kayu yang diukir indah dengan khas aceh berupa ukiran-ukiran berbentuk daun-daunan kecil yang berliku-liku.

IV. Lainnya

Rumah Adat :


Rumah adat Nangro Aceh Darussalam atau disebut juga Rumoh Aceh merupakan rumah panggung yang memiliki tinggi beragam sesuai dengan arsitektur si pembuatnya. Namun pada kebiasaannya memiliki ketinggian sekitar 2,5-3 meter dari atas tanah. Untuk memasukinya harus menaikit beberapa anak tangga. Terdiri dari tiga atau lima ruangan di dalamnya, untuk ruang utama sering disebut dengan rambat.

Rumoh Aceh yang bertipe tiga ruang memiliki 16 tiang, sedangkan untuk tipe lima ruang memiliki 24 tiang. Bahkan salah satu rumoh Aceh (peninggalan tahun 1800-an) yang berada di persimpangan jalan Peukan Pidie, Kabupaten Sigli, milik dari keluarga Raja-raja Pidie, Almarhum Pakeh Mahmud (Selebestudder Pidie Van Laweung) memiliki 80 tiang, sehingga sering disebut dengan rumoh Aceh besar. Ukuran tiang-tiang yang menjadi penyangga utama rumoh Aceh sendiri berukuran 20 - 35 cm.

Biasanya tinggi pintu sekitar 120 - 150 cm dan membuat siapa pun yang masuk harus sedikit merunduk. Makna dari merunduk ini menurut orang-orang tua adalah sebuah penghormatan kepada tuan rumah saat memasuki rumahnya, siapa pun dia tanpa peduli derajat dan kedudukannya. Selain itu juga, ada yang menganggap pintu rumoh Aceh sebagai hati orang Aceh. Hal ini terlihat dari bentuk fisik pintu tersebut yang memang sulit untuk memasukinya, namun begitu kita masuk akan begitu lapang dada disambut oleh tuan rumah.Saat berada di ruang depan ini atau disebut juga dengan seuramoe keu/seuramoe reungeun, akan kita dapati ruangan yang begitu luas dan lapang, tanpa ada kursi dan meja. Jadi, setiap tamu yang datang akan dipersilahkan duduk secara lesehan di atas tikar.

Bagian-bagian Rumoh Aceh
Pada bagian bawah rumah atau disebut dengan yup moh bisa digunakan untuk menyimpan berbagai benda, seperti penumbuk padi dan tempat menyimpan padi. Tidak hanya itu, bagian yup moh juga sering difungsikan sebagai tempat bermain anak-anak, membuat kain songket Aceh yang dilakoni oleh kaum perempuan, bahkan bisa dijadikan sebagai kandang untuk peliharaan seperti ayam, itik, dan kambing.
  • Ruangan depan atau disebut dengan seuramoe reungeun merupakan ruangan yang tidak berbilik (berkamar-kamar). Dalam sehari-hari ruangan ini berfungsi untuk menerima tamu, tempat tidur-tiduran anak laki-laki, dan tempat anak-anak belajar mengaji saat malam atau siang hari. Disaat-saat tertentu, seperti ada upacara perkawinan atau upacara kenduri, maka ruangan inilah yang menjadi tempat penjamuan tamu untuk makan bersama.
  • Ruangan tengah yang disebut dengan seuramoe teungoh merupakan bagian inti dari rumoh Aceh, maka dari itu banyak pula disebut sebagai rumoh inong (rumah induk). Sedikit perbedaan dengan ruang lain, di bagian ruangan ini terlihat lebih tinggi dari ruangan lainnya, karena tempat tersebut dianggap suci, dan bersifat sangat pribadi. Di ruangan ini terdapat dua buah bilik atau kamar tidur yang terletak di kanan-kiri, posisinya menghadap ke utara atau selatan dengan pintu yang menghadap ke belakang. Di antara kedua bilik itu terdapat pula gang yang menghubungkan ruang depan dan ruang belakang. Rumoh inong biasanya sebagai tempat tidur kepala keluarga. Bila anak perempuan baru saja kawin, maka dia akan menempati rumah inong ini. Sementara orang tuanya akan pindah ke anjong. Bila ada anak perempuannya yang kawin dua orang, orang tua akan pindah ke seuramoe likot, selama belum dapat membuat rumah baru atau merombak rumahnya. Di saat upacara perkawinan, mempelai akan dipersandingkan di bagian rumoh inong, begitu juga saat ada kematian rumoh inong akan digunakan sebagai tempat untuk memandikan mayat.
  • Ruangan belakang disebut seuramoe likot yang memiliki tinggi lantai yang sama dengan seuramoe reungeun, serta tidak mempunyai bilik atau sekat-sekat kamar. Fungsinya sering dipergunakan untuk dapur dan tempat makan bersama keluarga, selain itu juga dipergunakan sebagai ruang keluarga, baik untuk berbincang-bincang atau untuk melakukan kegiatan sehari-hari perempuan seperti menenun dan menyulam. Namun, ada waktunya juga dapur sering dipisah dan malah berada di bagian belakang seuramoe likot. Sehingga ruang tersebut dengan rumoh dapu (dapur) sedikit lebih rendah lagi dibanding lantai seuramoe likot. Di bagian atas sering diberi loteng yang memiliki fungsi untuk menyimpan barang-barang penting keluarga.
Tiang Rumoh Aceh berbahan kayu. Di samping itu, kayu pada rumoh Aceh digunakan pula untuk membuat toi, roek, bara, bara linteung, kuda-kuda, tuleueng rueng, indreng, dan lain sebagainya. Lantai dan dindignya terbuat dari papan. Selain itu, beberapa bahan yang digunakan untuk pembuatan Rumoh Aceh diantaranya Trieng bambu yang digunakan untuk membuat gasen (reng), alas lantai, beuleubah (tempat menyemat atap), dan lain sebagainya. Selain menggunakan bambu, adakalanya untuk membuat lantai dan dinding Rumoh Aceh menggunakan enau.
Untuk memperkuat bangunanya tidak menggunakan paku, tali pengikat yang berbahan tali ijuk, rotan, kulit pohon waru, dan terkadang menggunakan tali plastik. Adapun atapnya menggunakan daun rumbia atau kadang menggunakan daun enau. Sementara pelepah rumbia digunakan untuk membuat rak-rak dan sanding .

Filosofi dan Keunikan Rumoh Aceh
Rumoh Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi merupakan ekspresi keyakinan terhadap Tuhan dan adaptasi terhadap alam. Adaptasi masyarakat Aceh terhadap lingkungannya dapat dilihat dari bentuk rumoh Aceh yang berbentuk panggung, tiang penyangganya yang terbuat dari kayu pilihan, dindingnya dari papan, dan atapnya dari rumbia. Pemanfaatan alam juga dapat dilihat ketika hendak menggabungkan bagian-bagian rumah yang tidak menggunakan paku tetapi menggunakan pasak atau tali pengikat dari rotan. Walaupun hanya terbuat dari kayu, beratap daun rumbia, dan tidak menggunakan paku, rumoh Aceh bisa bertahan hingga 200 tahun.
Pengaruh keyakinan masyarakat Aceh terhadap arsitektur bangunan rumahnya dapat dilihat pada orientasi rumah yang selalu berbentuk memanjang dari timur ke barat, yaitu bagian depan menghadap ke timur dan sisi dalam atau belakang yang sakral berada di barat. Arah Barat mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk membangun garis imajiner dengan Ka’bah yang berada di Mekkah. Selain itu, pengaruh keyakinan dapat juga dilihat pada penggunaan tiang-tiang penyangganya yang selalu berjumlah genap, jumlah ruangannya yang selalu ganjil, dan anak tangganya yang berjumlah ganjil.

Selain sebagai manifestasi dari keyakinan masyarakat dan adaptasi terhadap lingkungannya, keberadaan rumoh Aceh juga untuk menunjukan status sosial penghuninya. Semakin banyak hiasan pada rumoh Aceh, maka pastilah penghuninya semakin kaya. Bagi keluarga yang tidak mempunyai kekayaan berlebih, maka cukup dengan hiasan yang relatif sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali.


Dalam rumoh Aceh, ada beberapa motif hiasan yang dipakai, yaitu:
  1. Motif keagamaan yang merupakan ukiran-ukiran yang diambil dari ayat-ayat al-Quran;
  2. Motif flora yang digunakan adalah stelirisasi tumbuh-tumbuhan baik berbentuk daun, akar, batang, ataupun bunga-bungaan. Ukiran berbentuk stilirisasi tumbuh-tumbuhan ini tidak diberi warna, jikapun ada, warna yang digunakan adalah merah dan hitam. Ragam hias ini biasanya terdapat pada rinyeuen (tangga), dinding, tulak angen, kindang, balok pada bagian kap, dan jendela rumah;
  3. Motif fauna yang biasanya digunakan adalah binatang-binatang yang sering dilihat dan disukai; Motif alam digunakan oleh masyarakat Aceh di antaranya adalah: langit dan awannya, langit dan bulan, dan bintang dan laut; dan
  4. Motif lainnya, seperti rantee, lidah, dan lain sebagainya.
Wujud dari arsitektur rumoh Aceh merupakan pengejawantahan dari kearifan dalam menyikapi alam dan keyakinan (religiusitas) masyarakat Aceh. Arsitektur rumah berbentuk panggung dengan menggunakan kayu sebagai bahan dasarnya merupakan bentuk adap tasimasyarakat Aceh terhadap kondisi lingkungannya.  Secara kolektif pula, struktur rumah tradisi yang berbentuk panggung memberikan kenyamanan tersendiri kepada penghuninya. Selain itu, struktur rumah seperti itu memberikan nilai positif terhadap sistem kawalan sosial untuk menjamin keamanan, ketertiban, dan keselamatan warga gampong (kampung).

Bagi masyarakat Aceh, membangun rumah bagaikan membangun kehidupan. Hal itulah mengapa pembangunan yang dilakukan haruslah memenuhi beberapa persyaratan dan melalui beberapa tahapan. Persyaratan yang harus dilakukan misalnya pemilihan hari baik yang ditentukan oleh Teungku (ulama setempat), pengadaan kenduri, pengadaan kayu pilihan, dan sebagainya.
Musyawarah dengan keluarga, meminta saran kepada Teungku, dan bergotong royong dalam proses pembangunannya merupakan upaya untuk menumbuhkan rasa kekeluargaan, menanamkan rasa solidaritas antar sesama, dan penghormatan kepada adat yang berlaku. Dengan bekerjasama, permasalahan dapat diatasi dan harmoni sosial dapat terus dijaga. Dengan mendapatkan petuah dari Teungku, maka rumah yang dibangun diharapkan dapat memberikan keamanan secara jasmani dan ketentraman secara rohani. Tata ruang rumah dengan beragam jenis fungsinya merupakan simbol agar semua orang taat pada aturan.

Ada juga keunikan lainnya dari rumoh Aceh, yakni terletak pada atapnya.
Tali hitam atau tali ijuk tersebut mempunyai kegunaan yang sangat berarti. Saat terjadi kebakaran misalnya yang rentan menyerang atap, maka pemilik rumah hanya perlu memotong tali tersebut. Sehingga, seluruh atap yang terhubungan atau terpusat pada tali hitam ini akan roboh dan bisa meminimalisir dampak dari musibah yang terjadi.

Dalam perkembangannya, masyarakat Aceh memiliki anggapan bahwa dalam pembuatan rumoh Aceh memiliki garis imajiner antara rumah dan Ka’bah (motif keagamaan), tetapi sebelum Islam masuk ke Aceh, arah rumah tradisional Aceh memang sudah demikian. Kecenderungan ini nampaknya merupakan bentuk penyikapan masyarakat Aceh terhadap arah angin yang bertiup di daerah Aceh, yaitu dari arah timur ke barat atau sebaliknya.

Jika arah rumoh Aceh menghadap kearah angin, maka bangunan rumah tersebut akan mudah rubuh. Di samping itu, arah rumah menghadap ke utara-selatan juga dimaksudkan agar sinar matahari lebih mudah masuk kekamar-kamar, baik yang berada di sisi timur ataupun di sisi barat. Setelah Islam masuk ke Aceh, arah rumoh Aceh mendapatkan justifikasi keagamaan. Nilai religiusitas juga dapat dilihat pada jumlah ruang yang selalu ganjil, jumlah anak tangga yang selalu ganjil, dan keberadaan gentong air untuk membasuh kaki setiap kali hendak masuk rumoh Aceh.

Adanya bagian ruang yang berfungsi sebagai ruang-ruang privat, seperti rumoh inong, ruang publik, seperti serambi depan, dan ruang khusus perempuan, seperti serambi belakang merupakan usaha untuk menanamkan dan menjaga nilai kesopanan dan etika bermasyarakat. Keberadaan tangga untuk memasuki rumoh Aceh bukan hanya berfungsi sebagai alat untuk naik ke dalam rumah, tetapi juga berfungsi sebagai titik batas yang hanya boleh didatangi oleh tamu yang bukan anggota keluarga atau saudara dekat.
Apabila dirumah tidak ada anggota keluarga yang laki-laki, maka (pantang dan tabu) bagi tamu yang bukan keluarga dekat (baca: muhrim) untuk naik ke rumah. Dengan demikian, reunyeun juga memiliki fungsi sebagai alat kontrol sosial dalam melakukan interaksi sehari-hari antar masyarakat.

Namun saat ini, seiring perkembangan zaman yang menuntut semua hal dikerjakan secara efektif dan efisien serta semakin mahalnya biaya pembuatan dan perawatan rumoh Aceh, maka lambat laun semakin sedikit orang Aceh yang membangun rumah tradisional ini. Akibatnya, jumlah rumoh Aceh semakin hari semakin sedikit.

Masyarakat lebih memilih untuk membangun rumah modern berbahan beton yang pembuatan dan pengadaan bahannya lebih mudah dari pada rumoh Aceh yang pembuatannya lebih rumit, pengadaan bahannya lebih sulit, dan biaya perawatannya lebih mahal. Namun, ada juga orang-orang yang karena kecintaannya terhadap arsitektur warisan nenek moyang mereka ini membuat rumoh Aceh yang ditempelkan pada rumah beton mereka.

Senjata Tradisional :


Rencong adalah senjata tajam belati Dari Indonesia tradisional Aceh. Bentuknya menyerupai huruf 'L', rencong termasuk dalam kategori belati yang berbeda dengan pisau atau pedang. Rencong memiliki kemiripan rupa dengan keris. Panjang mata pisau rencong dapat bervariasi dari 10 cm sampai 50 cm. Matau pisau tersebut dapat berlengkung seperti keris, namun dalam banyak rencong, dapat juga lurus seperti pedang. Rencong dimasukkan ke dalam sarung belati yang terbuat dari kayu, gading, tanduk, atau kadang-kadang logam perak atau emas. Dalam pembawaan, rencong diselipkan di antara sabuk di depan perut pemakai.

Menurut catatan sejarah rencong mulai dipakai pada masa Sultan Ali Mugayatsyah memerintah Kerajaan Aceh pada tahun 1514-1528. Pada waktu itu masih berorientasi pada kepercayaan Islam yang sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial budaya masyarakat di daerah aceh. Sehingga kedudukan rencong adalah sebagai berikut : gagangnya yang melekuk kemudian menebal pada bahagian sikunya merupakan aksara Arab Ba ; Bujuran gagang tempat genggaman berbentuk aksara Arab Sin ; Bentuk-bentuk lancip yang menurun ke bawah pada pangkal besi dekat gagangnya merupakan aksara Arab Mim ; Lajur-lajur besi dari pangkal gagang hingga dekat ujungnya merupakan aksara Arab Lam dan ujung yang runcing sebelah atas mendatar dan bahagian bawah yang sedikit melekuk ke atas merupakan aksara Arab Ha. Dengan demikian rangkaian dari aksara BA, MIM, LAM dan HA itu mewujudkan kalimah “BISMILLAH”. Ini berkaitan dengan jiwa heroic dalam bentuk senjata tajam yang dipakai sebagai senjata perang untuk mempertahankan agama Islam dari penjajahan orang-orang yang anti Islam.

Rencong memiliki tingkatan; untuk raja atau sultan biasanya sarungnya terbuat dari gading dan mata pisaunya dari emas dan berukirkan sekutip ayat suci dari Alquran agama Islam. Sedangkan rencong-rencong lainnya biasanya terbuat dari tanduk kerbau ataupun kayu sebagai sarungnya, dan kuningan atau besi putih sebagai belatinya.

Berikut Tingkatannya:
  • Rencong Meucugek. Disebut meucugek karena pada gagang rencong terdapat suatu bentuk panahan dan perekat yang dalam istilah Aceh disebut cugek atau meucugek. Cugek ini diperlukan untuk mudah dipegang dan tidak mudah lepas waktu menikam ke badan lawan atau musuh.
  • Rencong Meupucok. Rencong ini memiliki pucuk di atas gagangnya yang terbuat dari ukiran logam yang pada umumnya dari emas. Gagang dari rencong meupucok ini kelihatan agak kecil, yakni pada pegangan bagian bawah. Namun, semakin ke ujung gagang ini semakin membesar. Jenis rencong semacam ini digunakan untuk hiasan atau sebagai alat perhiasan. Biasanya, rencong ini dipakai pada upacara-upacara resmi yang berhubungan dengan masaalah adat dan kesenian.
  • Rencong Pudoi. Rencong jenis ini gagangnya lebih pendek dan berbentuk lurus, tidak seperti rencong umumnya. Terkesan, rencong ini belum sempurna sehingga dikatakan pudoi. Istilah pudoi dalam masyarakat Aceh adalah sesuatu yang diangap masih kekurangan atau masih ada yang belum sempurna.
  • Rencong Meukuree. Perbedaan rencong meukuree dengan jenis rencong lain adalah pada matanya. Mata rencong jenis ini diberi hiasan tertentu seperti gambar ular, lipan, bunga, dan sebagainya. Gambar-gambar tersebut oleh pandai besi ditafsirkan dengan beragam macam kelebihan dan keistimewaan. Rencong yang disimpan lama, pada mulanya akan terbentuk sejenis aritan atau bentuk yang disebut kuree. Semakin lama atau semakin tua usia sebuah rencong, semakin banyak pula kuree yang terdapat pada mata rencong tersebut. Kuree ini dianggap mempunyai kekuatan magis.
Seperti kepercayaan keris dalam masyarakat Jawa, masyarakat tradisional Aceh menghubungkan kekuatan mistik dengan senjata rencong. Rencong masih digunakan dan dipakai sebagai atribut busana dalam upacara tradisional Aceh. Masyarakat Aceh mempercayai bahwa bentuk dari rencong mewakili simbol dari basmalah dari kepercayaan agama Islam. Rencong begitu populer di masyarakat Aceh sehingga Aceh juga dikenal dengan sebutan ( Tanah Rencong ).

Pakaian Adat Aceh 















Kekayaan budaya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam atau lebih dikenal dengan julukan Serambi Mekah banyak dipengaruhi oleh budaya Islam. Dalam hal Pakaian Adat, pengaruh budaya Islam juga sangat tampak. Seperti penjelasan mengenai pakaian adat daerah Aceh berikut ini:

Paian Adat Tradisional Laki-laki Aceh (Linto Baro):
  • Pria memakai Baje Meukasah atau baju jas leher tertutup. Ada sulaman keemasan menghiasi krah baju.
  • Jas ini dilengkapi celana panjang yang disebut Cekak Musang.
  • Kain sarung (Ija Lamgugap) dilipat di pinggang berkesan gagah. Kain sarung ini terbuat dari sutra yang disongket.
  • Sebilah rencong atau Siwah berkepala emas/perak dan berhiaskan permata diselipkan di ikat pinggang.
  • Bagian kepala ditutupi kopiah yang populer disebut Meukeutop.
  • Tutup kepala ini dililit oleh Tangkulok atau Tompok dari emas. Tangkulok ini terbuat dari kain tenunan. Tompok ialah hiasan bintang persegi 8, bertingkat, dan terbuat dari logam mulia

Baju Adat Perempuan Aceh (Dara Baro):

  • Wanita mengenakan baju kurung berlengan panjang hingga sepinggul. Krah bajunya sangat unik menyerupai krah baju khas china.
  • Celana cekak musang dan sarung (Ija Pinggang) bercorak yang dilipat sampai lutut. Corak pada sarung ini bersulam emas.
  • Perhiasan yang dipakai : kalung disebut Kula. Ada pula hiasan lain seperti : Gelang tangan, Gelang kaki, Anting, dan ikat pinggang (Pending) berwarna emas.
  • Bagian rembut ditarik ke atas membentuk sanggul kecil dengan hiasan kecil bercorak bunga

Sumber Terkait :
Sumber :
http://kebudayaanindonesia.net/
http://alamendah.org/
http://fokusaceh.blogspot.com/
http://nailulkharisma.blogspot.com/
Sumber Utama :
Wikipedia.com



Ensiklopedi Aceh 



Sumatera Lainnya




Ensiklopedi Indonesia







Terbaik Indonesia
Lihat Lebih Lengkap>>>




Terkini Indonesia

Terbaik Indonesia

Belanja Indonesia Lihat Lebih Lengkap >>>




Travelling Kita

Comments
0 Comments
 
Copyright ©2015 - 2024 THE COLOUR OF INDONESIA. Designed by -Irsah
Back to top
THE COLOUR OF INDONESIA